Tak salah orang bilang jika stres adalah ibu dari segala macam penyakit. Stres atau tekanan fikiran yang disebabkan oleh kondisi, misalnya pekerjaan bisa sangat mempengaruhi gaya hidup, perilaku, dan kebiasaan seseorang. Bisa jadi karena stres, orang akan sulit tidur, makan tak teratur, makan berlebihan, lupa kebiasaan olahraga, melarikan diri dengan cara menghisap lebih banyak rok*k, hingga obat-obatan – yang semuanya memiliki konsekwensi yang jelas bagi kesehatan.
Karena stres, tubuh manusia pertamakali akan bereaksi dengan memompa adrenalin, dan selanjutnya kortisol ke dalam aliran darah untuk memfokuskan pikiran dan tindakan tubuh segera – respon yang membuat kita bisa hidup selama ribuan tahun. Adrenalin yang merupakan respon awal stres kadang-kadang bisa menimbulkan risiko kesehatan, tetapi yang paling bahaya adalah adanya pelepasan kortisol.
Kortisol umumnya dianggap sebagai hormon stres yang buruk, kortisol tidak banyak memiliki fungsi penting tubuh – namun salah satunya yang paling penting adalah menghentikan peradangan. Akan tetapi ketika kita mengalami stres kronis, maka kortisol akan mengalir tanpa henti. Seperti yang terjadi ketika stres konstan, maka sel-sel tubuh menjadi tidak peka terhadap hormon – yang justru menyebabkan peradangan menjadi tak terkendali. Peradangan kronis menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah dan sel-sel otak jangka panjang, menyebabkan resistensi insulin (penyebab diabetes) dan mempromosikan penyakit sendi yang menyakitkan seperti athritis. Jadi sangatlah tidak berlebihan jika stres dibilang sebagai ibu dari segala macam penyakit.
Berikut beberapa penyakit yang bisa disebabkan oleh stres, dari yang paling ringan hingga berat
Daftar Konten
Influensa
Orang yang mengalami stres kronis akan melepaskan banyak kortisol, dan lebih mudah untuk sakit flu. Ketika orang mengalami stres terus menerus, maka sel-sel sistem kekebalan tubuh tidak bisa merespon dengan baik, dan akibatnya meningkatkan peradangan yang menyebabkan berbagai penyakit.
Peningkatan berat badan
Kita sudah lama mengetahui bahwa hormon stres merangsang preferensi seseorang untuk memakan makanan yang banyak gula, pati dan lemak. Tetapi penelitian baru menunjukkan bahwa hubungan antara stres dan berat badan jauh lebih rumit daripada pilihan makanan. Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan pada bulan Juli di Biological Psychiatry , wanita yang memiliki satu atau lebih peristiwa stres dalam 24 jam akan membakar 104 kalori lebih sedikit dalam tujuh jam setelah makan-makanan cepat saji, daripada wanita yang makan makanan yang sama tetapi bebas stres. Selain memicu perubahan metabolisme, respons stres menghasilkan peningkatan kadar insulin dan penurunan oksidasi lemak, proses ganda yang mempromosikan penyimpanan lemak, kata peneliti stres, Janice Kiecolt-Glaser, seorang profesor bidang psikiatri di Universitas kedokteran Ohio State University di Columbus dan penulis utama studi tersebut. Penelitian lain telah menunjukkan korelasi antara kelebihan kortisol dan lemak perut.
Mudah tertular penyakit dan lebih lama sembuhnya
Menurut penelitian terbaru, kortisol yang berlebih menyebabkan perlambatan penyembuhan luka dan menurunkan efektivitas vaksin pada orang yang merawat anggota keluarga yang sakit. Dengan demikian, orang yang stres lebih mudah tertular penyakit dari anggota keluarganya.
Masalah tidur
Menurut peneliti tidur Martica Hall, profesor psikiatri di University of Pittsburgh Medical Center, orang dewasa akan mengalami penurunan alam dalam jumlah tidur nyenyak, dan meningkatkan bangun ditengah malam. Stres bisa memperburuk kekurangan tidur, sehingga sangat sulit bagi seseorang untuk tidur kembali ketika sudah terbangun di malam hari. Karena kurang tidur mengganggu memori dan emosi kontrol, maka orang-orang dengan masalah tidur kemudian mungkin akan merasa lebih sulit untuk mengatasi stres dalam kehidupannya. Hal ini bisa dikatakan bahwa kadar kortisol bisa menyumbang terbangun di malam hari, dan kemudian otak kita merespon dengan mengingatkan kita kembali kepada masalah.
Penyakit Jantung
Para ilmuwan telah mengetahui selama bertahun-tahun bahwa ada kaitan antara stres jangka panjang dan serangan jantung, namun alasannya sampai saat ini masih belum begitu dipahami. Penelitian telah menemukan bahwa kortisol benar-benar bisa mengubah tekstur sel darah putih, sehingga bisa menempel pada dinding pembuluh darah. Hasilnya adalah plak pada dinding pembuluh darah, penyebab utama penyakit jantung. Penelitian pada tikus, stres menyebabkannya kelebihan sel darah putih, yang kemudian mengeraskan pembuluh darah.
Depresi
Selama satu dekade terakhir, para peneliti telah mengevaluasi kembali kontribusi stres pada depresi dan kesehatan otak. Stres melepaskan beberapa neurotransmitter ke sistem otak – seperti serotonin, dopamine dan norepinephrine yang tidak seimbang, sehingga berpengaruh negatif terhadap suasana hati, nafsu makan, tidur dan libido. Beberapa orang yang mengalami depresi berat telah secara permanen dengan kadar kortisol tinggi, yang pada akhirnya bisa mengubah hippocampus dan merusak sel-sel otak secara permanen. Depresi adalah suatu penyakit yang mengubah otak.
Maag dan masalah perut lainnya
Selama 50 tahun, para ilmuwan menemukan bahwa streslah yang menyebabkan sakit maag. Kemudian pada tahun 1983, para peneliti Australia menemukan bahwa ulkus(maag) sebenarnya disebabkan oleh bakteri H. pylori. Manakah yang benar? Ternyata sekitar 15 persen sakit maag bukan karena infeksi bakteri, dan hanya sekitar 10 persen orang yang yang menderita maag karena infeksi, menurut seorang peneliti stres di Stanford University. Salah satu teori menyatakan bahwa stres kronis memiliki efek pada sistem kekebalan tubuh, sehingga memungkinkan bakteri H. pylori untuk berkembang; stres juga dapat mengubah keseimbangan bakteri dalam usus, sehingga menyebabkan sakit maag. Bakteri bisa hidup karena sistem kekebalan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik; jadi stres akhirnya menyebabkan ulkus. Para ilmuwan tetap membagi kesimpulan ini, tetapi setuju bahwa stres bisa menjadi faktor penting terhadap sindrom iritasi usus, gangguan pencernaan, mulas, kolitis ulserativa dan penyakit Crohn, yang ditandai dengan peradangan kronis.
Sakit punggung, leher, dan bahu
Sakit leher, bahu dan punggung adalah keluhan yang umum saat ini. Kombinasi aktivitas fisik dan ketegangan mental tidak secara langsung menyabkan stenosis tulang belakang, tetap stres dapat meningkatkan keparahan dan durasi sakit. Nyeri muskuloskeletal tampaknya sangat sensitif terhadap stres di tempat kerja. Para peneliti tidak yakin mengapa orang dengan pekerjaan yang memiliki tingkat stres tinggi lebih mudah sakit punggung, leher dan nyeri bahu, tetapi mereka berteori bahwa peradangan yang disebabkan oleh stres yang menghambat penyembuhan sehingga nyeri terus berlangsung.